Jatam Desak Pemerintah Evaluasi Kinerja KPC Dan Beri Sanksi Pidana
POJOKALTIM, SAMARINDA - Banjir besar yang melumpuhkan Sangatta, Kutai Timur (Kutim), membuat sekitar 16.896 jiwa di daerah itu terdampak. Lebih darib2 ribu orang di 2 kecamatan, Sangatta Utara dan Sangatta Selatan, dipaksa mengungsi. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah jika luasan dan ketinggian banjir terus bertambah.
Hal ini disampaikan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, dalam pers rilis yang diterima Senin (21/3) malam lalu. Dikatakan dalam rilis tersebut, wilayah yang paling terdampak parah berada di Kecamatan Sangatta Selatan. Tepatnya di 3 desa, yakni Sangatta Selatan, Pinang Raya dan Singa Geweh. Bahkan disebut, banjir sudah menelan satu korban jiwa, yaitu Suriyati (41), warga Jalan Pinang Dalam Sangatta. Selain itu, sejumlah kerugian juga dialami masyarakat, sebanyak 366 rumah rusak diterjang banjir.
"Dikabarkan korban berusaha naik ke atas rumah, karena panik dengan datangnya banjir. Namun sialnya, korban justru terjatuh ke air," Jatam dalam pers rilisnya.
Banjir ini bukan hal baru, bagi warga di dua kecamatan, hal serupa pernah terjadi pada Oktober 2020 lalu. Namun bencana yang terjadi kali ini menjadi yabg terparah dalam kurun 20 tahun. Hujan yang mengguyur selama 2 hari, menjadi potret rapuhnya dua kawasan ini dari bahaya banjir.
Bukan tanpa sebab, kondisi ini diakibatkan massifnya pembukaan hutan yang dijadikan konsesi tambang skala besar di wilayah hulu Sungai Sangatta. Jatam Kaltim menduga, aktivitas pembongkaran hutan dan gunung oleh PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai biang kerok bencana tersebut.
PT KPC merupakan perusahaan tambang raksasa yang sahamnya dimiliki Aburizal Bakrie. Memperoleh kontrak karya dari pemerintah pada 1982 dengan luasan konsesi 90.938 hektar, di awal tahun ini KPC kembali mendapatkan perpanjangan kontrak. Namun luas konsesi mengalami penyusutah menjadi 65.543 hektar. Setiap tahun, KPC memproduksi batu bara sebanyak 60 juta metrik ton, di mana 75 persen hasil produksinya diekspor ke luar negeri.
"Besarnya banjir yang menerjang warga sudah kami prediksi. Tidak sulit menghubungkannya, mengingat hutan-hutan di wilayah hulu sudah dibabat habis dan bukit-bukitnya dikeruk menjadi lubang tambang," bunyi rilis tersebut.
Jatam mencatat, selama 39 tahun mengeruk bumi Kutim, KPC telah melakukan berbagai macam pelanggaran. Antara lain, meracuni Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon, sebagai tempat mengalirkan limbahnya. Akibatnya terjadi penyempetin dan pendangkalan sungai secara ekstrim. Ini menyebabkan air sungai sudah tidak layak lagi digunakan dan dikonsumsi. Hal lainnya, ekosistem sungai yang rusak menyebabkan makhluk hidup lainnya, seperti buaya terganggu habitatnya. Tak heran sering kedapatan, hewan reptil buas ini masuk ke wilayah pemukiman.
Pelanggaran berikutnya adalah terjadinya kasus perampasan lahan dengan kekerasan, terhadap masyarakat adat dan petani. Seperti pernah terjadi pada 2016 silam, warga yang bernama Dahlia, diseret paksa keluar dari kebunnya, oleh petugas keamanan perusahaan yang dikawal Brimob. Tindakan represif ini mengakibatkan korban mengalami cacat permanen dan trauma psikis. Hingga saat ini tidak ada tindakan pemulihan yang dilakukan KPC terhadap kesehatan dan psikis sang korban.
Kehilangan paling besar dialami oleh masyarakat Suku Dayak Basap, di dua kampung, Desa Keraitan dan Tebangan Lembak. Masuknya KPC di daerah ini, merampas ratusan hektar ladang warga. Pelepasan kepemilikan lahan kerap menggunakan cara-cara kotor dan kekerasan. Program resetlemen yang diusung hanya merupakan siasat busuk korporasi, untuk mengeruk batu bara yang ada di bawah pemukiman, makam dan ladang warga.
"Kami menilai KPC tidak layak mendapat penghargaan peringkat emas dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan Hidup yang diberikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," tegas Jatam.
Dengan mencermati banjir yang terjadi di Kutim, Jatam membuat beberapa pernyataan sikapnya. Pertama, meminta pemerintah membuka posko-posko bantuan serta tempat evakuasi warga terdampak. Kedua, meminta pemerintah pusat mengevaluasi dan melakukan audit secara menyeluruh kepada PT KPC, terhadap komitmen pemulihan hutan dan penutupan lubang tambang.
Poin berikutnya, pemerintah tidak hanya memberikan sanksi administratif, tapi juga sanksi pidana atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan. Poin terakhir, pemerintah membuka hasil dari pengawasan dan evaluasi kinerja komitmen reklamasi dan penutupan lubang tambang kepada warga.
Sementara itu, dilansir dari beberapa sumber, KPC membantah banjir yang terjadi karena operasional pertambangan. Melalui Manager External Relation PT KPC, Yordhen Ampung, dikatakan curah hujan yang sangat tinggi menjadi penyebab terjadinya banjir.
"Jadi tidak benar kalau banjir ini terjadi karena KPC," elaknya.
Yordhen berdalih, banjir yang terjadi secara bersamaan di Sangatta Utara dan Selatan, juga di Bengalon adalah buktinya. Karena beberapa kawasan yang tidak ada kaitan sama sekali dengan area tambang, seperti di Kecamatan Telen dan Karangan, juga mengalami banjir. (cuk)