Buku Dan Lks Tak Terbeli...
Penulis: Tim Redaksi
Orangtua yang putra-putrinya saat ini tengah naik kelas atau masuk jenjang selanjutnya, pasti sedang deg-degan. Minimal hela napas pendek sembari ngelus dada.
Apalagi kalau bukan soal nebus-menebus buku, LKS, seragam, dan tetek bengek lainnya.
Biaya pendidikan memang tak murah. Tiap tahun, ongkos bikin pintar anak terus naik. Tak ada sejarahnya, biaya turun.
Di tengah perekonomian yang sebagian besar dirasakan warga masih babak belur, kita dihadapkan satu persoalan pelik: pendidikan.
Buku panduan belajar memang diperlukan. Itu sudah jelas. Penulis masih ingat, ketika masih mengenakan seragam putih merah, belum ada LKS. Itu medio 80-an ke atas. Kisi-kisi pembelajaran plus latihan soal, sudah jadi satu dalam buku paket. Jadi, tak perlu lagi beli buku lain hanya untuk mengerjakan latihan soal.
Belakangan, sudah ada buku paket atau cetak, orangtua masih di "wajibkan" membeli LKS.
Di media sosial, banyak orangtua yang posting deretan buku + LKS yang harus ditebus. Tentu di luar seragam bagi pelajar baru. Bagi pelajar yang bajunya kekecilan, mau tak mau pun orangtuanya beli seragam lebih besar.
Macam-macam komentar. Ada yang bernasib sama karena beban hidup yang tak ringan-ringan eh terbebani lagi oleh biaya pendidikan yang memang menjadi kebutuhan dasar kita.
Ada yang mengeluh, sambat, ngomel, dan ada juga komen reliji yang mendoakan semoga para orangtua diberikan kelancaran rezeki. Ada juga yang bilang, mau tak mau, terpaksa beli. Kalau tidak, anak kita akan "ditandai" oleh guru.
Repot memang. Komplikasi. Ribet, dan lain-lain. Tak membeli, anak kita akan kesulitan dalam proses belajar. Mau di fotocopy, biayanya juga gede. Malah lebih gede. Mau pinjam LKS ke teman, tak bisa. Sebab satu LKS berlaku untuk 1 siswa.
Pendidikan memang sudah keharusan dan kewajiban. Negara pun mengatur soal itu. Alokasi dana APBN sangat-sangat besar. Apa jangan-jangan pos dana pendidikan yang besar itu jadi faktor utama "dibisniskan" sekalian? Anda-anda pasti punya dan sudah tahu jawabannya. Bisa jadi, pura-pura tak tahu.
Pendidikan melibatkan banyak orang. Semua warga wajib sekolah. Coba hitung, berapa jumlah siswa di Indonesia. Coba pikirkan, tiap tahun bahkan sampai kiamat, tak ada yang tak menyekolahkan anaknya. Jika dikaitkan dengan bisnis, tentu cuan besar.
Pemerintah seharusnya, bertindak tegas perihal wajibnya siswa membeli LKS. Memang tak semua sekolah negeri yang mewajibkan membeli buku paket dan LKS.
Anak saya contohnya. Di sekolahnya, buku paket bisa pinjam di perpustakaan. Ini mungkin contoh sekolah yang benar-benar menjalankan aturan pemerintah.
Oiya, artinya pemerintah sudah mengatur soal itu. Tak wajib beli buku paket atau LKS. Tapi, kenapa masih ada sekolah negeri yang seolah mewajibkan. Perihal sekolah swasta, tak kita bahas. Kita kesampingkan.
Satu sisi, pemerintah juga tak bisa melarang swasta membuat buku paket dan LKS berbasis kurikulum. Sebab, ada hitung-hitungan ekonomi di situ. Artinya, ini juga soal agar karyawan mereka juga ada pendapatan. Ini soal lapangan pekerjaan.
Tapi, itu jangan dijadikan alasan. Hanya agar perut sendiri kenyang, menghalalkan segala cara. Nah, di sinilah ketegasan pemerintah agar melarang perusahaan penerbit main kaveling-kavelingan. Main akrobat dengan oknum pengurus sekolah agar membeli buku cetak dari satu penerbit.
Lagi-lagi ini soal perut. Kondisi ekonomi kita memang sudah berat. Inflasi menginfeksi di segala sektor. Kebutuhan naik, pendapatan begitu-begitu saja. Maka, ada peluang sedikit untuk menambah pendapatan, segala cara digunakan.
Penulis pun bingung, apa yang hendak disampaikan. Saking ribet, berbelit-belit, dan kompleksnya segala faktor di dunia pendidikan negeri kita ini.
Tapi ada satu kesimpulan yang silakan kalau mau disepakati. Ada suara bersih dari dalam diri kita yang memfilter segala niat tidak baik. Tak ada yang mendengar suara itu selain kita sendiri. Bahkan, telinga kita pun tak bisa mendengarnya. Hanya nurani yang bisa mendengar suara itu.
Selanjutnya, tinggal kita saja. Apa mau mengikuti suara kebenaran itu, atau tidak. Jika tidak, ya bakal begini. Jadi muter-muter, ribet, saling injak, sikut, egois, tak peduli, seolah jadi lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Jangan-jangan, kita sendiri yang jadi setannya. (***)
https://pojokaltim.co.id/news/pojok-pikiran/peran-guru-bimbingan-dan-konseling-dalam-implementasi-kurikulum-merdeka-di-sekolah