Penulis: Tim Redaksi

Dan Terjadi Lagi...

Ada dua kemungkinan terjadi ketika kita berkendara: ditabrak, atau menabrak. Namun, tak ada satupun yang mau memilih satu dari dua pilihan itu. Semua ingin selamat.

Faktanya, kecelakaan lalu lintas kerap terjadi di sekitar kita. Korban pun berjatuhan. Namun, sekali lagi, tingginya angka kecelakaan hingga merenggut nyawa, tak lantas membuat kesadaran pengendara di Tanah Air meningkat. 

Sebuah data bercerita, tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia makin tinggi. Terkhusus kasus rem blong. Bahkan sampai mengalahkan Eropa sampai Amerika Serikat.

Sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 61% kecelakaan terjadi karena faktor manusia, 30% faktor sarana prasarana, dan 9% faktor pemenuhan persyaratan laik jalan.

Berdasarkan data kecelakaan lalu lintas tahun 2015 sampai 2020, terdapat 528.058 kasus kecelakaan. Kecelakaan itu merenggut korban meninggal dunia sebanyak 164.093 orang. Kecelakaan lalu lintas juga menjadi penyebab kematian paling tinggi untuk kelompok usia 15 - 29 tahun, yang membawa kerugian besar karena sedang memasuki usia produktif.

Sementara dari 2018 kecelakaan truk dan bus adalah yang terbesar ketiga setelah sepeda motor. Mulai meningkat pada tahun 2019 kecelakaan truk dan bus menjadi nomor dua setelah sepeda motor.

Apakah pemerintah lepas tangan? Tentu saja: tidak. Peraturan demi peraturan dibuat. Sayang, pesan yang disampaikan pemerintah tak sepenuhnya sampai ke pengendara. Apakah sosialisasi yang kurang ataukah memang kesadaran berkendara kita yang belum tinggi, entahlah.

Berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 19, jalan dibagi menjadi empat kelas, I, II, III, dan Khusus.

Kelas I berarti jalan arteri atau kolektor. Muatan Sumbu Terberatnya (MST) yaitu maksimal 10 ton. Dimensi maksimumnya yaitu lebar 2,5 meter, panjang 18 meter dan tinggi 4,2 meter.

Arti dari MST maksimal 10 ton yaitu misalnya untuk truk engkel yang memiliki dua sumbu roda. Biasanya beban sumbu belakang lebih besar di banding sumbu depannya. Misalnya sumbu belakang 10 ton, dan sumbu depan sekitar empat sampai enam ton. Truk dengan kelas I hanya bisa di jalan arteri atau provinsi. Tidak bisa masuk ke jalan yang di kampung-kampung.

Kelas II, MST nya 8 ton. Begitu juga untuk Kelas III, bedanya ada di dimensi kendaraannya. Kelas II dimensinya yaitu panjang 12 meter, lebar 2,5 meter dan tinggi 4,2 meter. Sedangkan kelas III, panjangnya 9 meter, lebar 2,1 meter dan tinggi 3,5 meter. 

Untuk kelas jalan khusus, yang hanya boleh di jalan arteri. Dimensinya pun lebih besar dari truk di kelas I, memiliki MST di atas 10 ton, dengan lebar kendaraan di atas 2,5 meter, panjang di atas 18 meter serta tinggi maksimal tetap 4,2 meter.

Peraturan penggunaan jalan ini memang bertujuan agar, truk-truk besar pengangkut logistik atau apapun, tidak bercampur dengan moda transportasi lain yang berukuran lebih kecil.

UU ini tak berdiri sendiri. Peraturan wali kota tiap daerah pun sudah dikeluarkan guna mengatur "Transformers" di jalanan. Rata-rata, perwali itu mengatur jam bagi truk berukuran besar yang ingin melintas di jalan raya.

Dari sisi regulasi, pemerintah sudah berupaya maksimal. Petugas pun sudah disebar di tiap titik jalan raya guna mengatur dan mencegah hal-hal buruk di jalanan.

Sekarang semua berpulang ke diri kita masing-masing. Sudahkah kita memeriksa kendaraan sebelum jalan, apalagi jika menempuh perjalanan jauh. Sudahkah perawatan rutin kita laksanakan. Sudahkah kita benar-benar paham hak, dan adab ketika di jalan raya. 

Dan sudahkah kita menyadari bahwa rambu-rambu lalulintas itu bukanlah hiasan jalan raya?

Share: