Sumber foto: pinterest

Ketika Bulan Datang Menyapa

Seharian ini Dira hanya bisa terbaring di kamarnya. Wajahnya pucat. Yang membuatku khawatir Dira juga tidak mau makan. Sehingga daripada kenapa-kenapa kuputuskan mendatangi dokter Dini. Langganan kami sejak Dira masih kecil.

"Mbak Dini, kira-kira Dira kenapa ya? Dia bilang sakit perut" tanyaku khawatir sambil melihat ke arah anakku yang saat ini berbaring di ranjang periksa pasien.


"Sebentar ya Mas...saya periksa dulu." sahut dokter cantik itu lembut. 

"Ayah tunggu di luar aja," ujar anakku.

"Tapi Sayang..." 

"Udah di luar aja, atau aku gak mau diperiksa," anakku merajuk.

Beruntung Bu dokter segera melerai drama anak dan bapak.

"Gak apa-apa, Mas... Silakan tunggu di luar saja. Supaya anaknya mau diperiksa" kata Bu Dokter menenangkanku. 

Akhirnya aku mengalah dan segera keluar dari ruang periksa dokter dengan perasaan tidak tenang. Di luar ruang praktik aku berjalan bolak-balik saja di depan pintu, menunggu Dira selesai diperiksa. Beberapa pasang mata pasien lain yang sedang dalam antrean memperhatikanku. Tapi tidak kuperdulikan. Aku hanya peduli Dira. Anakku satu-satunya.


15 menit kemudian. Pintu ruang praktik terbuka. Dira keluar dari ruangan itu. Berganti aku yang masuk untuk meminta penjelasan.

"Bagaimana Mbak Dini?"

"Tidak ada apa-apa, Mas... Dira tu sehat, emh...tapi apa Mas tidak tau jika saat ini Dira sedang datang bulan yang pertama kali?"

Aku melongo dan seketika menggeleng. Datang bulan? Maksudnya? Oh...haid? Eh, Dira sudah haid? Anakku udah baligh dong.

"Trus saya mesti bagaimana Mbak Dini?"

"Gak mesti gimana-gimana. Dira sudah saya beritahu... Jika ada apa-apa dia boleh hubungi saya. Untuk nyeri perutnya, sudah saya kasih resep yang aman." Ujar mbak Dokter menjelaskan.

Kami pun meninggalkan tempat praktik setelah menyelesaikan pembayaran dan lainnya.


"Kak, kok ga bilang klo lagi datang bulan? tanyaku ke Dira.

"Dira kan dah bilang klo cuma sakit perut, tapi ayah yang malah panik pakai ke dokter segala" sahut anakku.

"Abis kamu pake acara ga bisa bangun, ga mau makan juga" jawabku.

Anakku tidak menyahut. Pandangan matanya jauh ke luar jendela. Aku tahu biasanya jika seperti itu, artinya pikiran Dira sedang tidak ada bersamaku.


Sampai di rumah.

"Dira mau di kamar aja, Yah... " 

"Iya, kalo masih sakit bilang ya. Obatnya tadi jangan lupa." Pesanku sebelum pintu kamar Dira tertutup.


Di kamarku, aku terdiam berpikir. Seumur-umur, aku tidak pernah tau bagaimana tentang datang bulan. Saudaraku semuanya laki-laki. Ibuku bukan orang yang terbuka soal hal ini. Yang aku tau, datang bulan itu siklus alami pada tubuh wanita terkait organ reproduksinya.

Istriku? 

Tiba-tiba aku teringat dengan buku harian yang ditinggalkan istriku. Mungkin ada jawaban di dalamnya.


Istriku adalah sosok yang punya kebiasaan berbeda dari ibu-ibu umumnya. Dia suka sekali menuliskan isi pikirannya di buku harian, seolah ia sedang berbicara banyak hal padaku. Aku sih terserah istriku saja, yang penting hatinya bahagia. Sehingga aku juga tidak pernah membaca buku harian itu. Dan kemudian, setelah kepergian istriku, aku makin tidak ingin tahu dengan apa yang ia tulis. Melihat buku hariannya saja, membuat hatiku sedih lagi. Dua hari setelah kematiannya, buku harian istriku sengaja kusimpan jauh di sudut lemari.

Ya, istriku sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu saat melahirkan adiknya Dira. 

Hari ini, kubuka buku harian istriku dan menikmati lembar-lembar cerita di dalamnya.


...[Aku yakin, Ayah akan membaca buku ini ketika masanya tiba.

Dan jika Ayah sudah sampai ke lembar tentang datang bulan... Artinya selamatttt...telah tiba masanya kita punya anak gadis. Tanggung jawab kita makiiiiinnn berat. Setelah ini artinya Ayah harus makin ketat mengingatkan kewajiban muslimah yg sudah baligh ke anak kita.

Rasanya sedih jika mengingat mungkin aku tidak bisa mendampingi Dira melewati moment pertamanya. Tapi tolong sampaikan pada Dira, aku selalu ada di sampingnya...


Tentang mandi wajib aku yakin Ayah bisa jelaskan. Kalo pun tidak bisa, di sekolah Dira pasti udah ada ustadzah yang ngasih tau. Sekolah sekarang hebat. Apalagi sekolah yang sudah kita pilihkan untuk Dira. Selain itu Ayah juga bisa bertanya pada Ibu entah. Itu Ibuku atau Ibumu, atau pada ibu RT hehehe....


Tapi ada yang juga penting dari datang bulan selain urusan fiqhnya. Aku ingatkan...Ayah jangan bingung kalo anak kita mengeluh sakit perut. Ga usah panik. Kasih pereda nyeri saja. Kalau ayah gak yakin...pergi ke dokter juga pilihan bagus.

Anak kita mungkin akan mengalami perubahan mood sebelum dan saat datang bulan. Jangan kaget kalo moodswing-nya macam rollercoaster. Aku pun begitu. Ayah aja yang gak peka. Dan memang semua tergantung orangnya sih. Kadang ada yang jadi perasa, ada yang cuek. Tapi kalo sama anak, Ayah harus peka ya...

Supaya moodnya bagus. Ajak makan, senangkan hatinya. Kalo ada keluhan soal jerawat, ayah jangan meremehkan. Dengarkan saja, memberikan nasihat terlalu banyak ga akan banyak membantu. Malah mungkin bikin mood anak kita makin jelek....]


Masih cukup panjang, tulisan istriku tentang datang bulan, sebagian cerita konyolnya saat ia datang bulan. Tapi aku sudah tidak kuat. Aku membaca tulisan tangan istriku dengan hati seperti anak kecil yang sedang memegang lima balon, tapi salah satunya meletus. Rinduku padanya kembali membuncah. Membaca tulisannya seperti bercakap-cakap tapi tidak bisa kupegang wujudnya.


Setelah menyimpan kembali buku harian istriku baik-baik, aku kembali tersadar jika anakku sudah baligh. Kemarin-kemarin sudah pernah nyerempet soal ini ke Dira, ketika ia bercerita teman sekolahnya ada yang sudah datang bulan. Dari hasil obrolan kami,  insya Allah Dira sudah paham kewajiban muslimah yg sudah baligh.


Kurasa aku pun sudah siap jika masanya tiba. Tapi rupanya pengetahuanku masih jauh.

Aku baru paham kalau ada istilah PMS, dismenorea dan semua teman-temannya itu. Aku baru ngerti kalau siklus rutin dalam tubuh perempuan itu bisa bikin sebagian perempuan guling-guling. Seperti kondisi Dira tadi pagi.


Kuketuk pintu kamar Dira

Ternyata tidak terkunci. Dira menatap langit dari jendela kamarnya

"Dira, masih sakit?" tanyaku. Kulihat Dira menggeleng lemah. Wajahnya terlihat sedih.

"Ayah... Dira sedih," akunya.

"Ada apa sayang?"

"Dira ingat Bunda..."

"Kenapa jadi sedih krn ingat Bunda?" tanyaku lagi. 

"Dira sedih karena haid pertama gak ditemani Bunda seperti teman-teman yang lain"


Kubelai rambut anakku satu-satunya... 

"Dira jangan sedih, Bunda sudah temani Dira. Bahkan untuk urusan ini Bunda sudah ingatkan Ayah jauh hari. Dira mau makan apa? Kita makan di luar yuk?" tanyaku mengalihkan sedihnya.

"Boleh?" Matanya membulat mendengar ajakanku. Aku menebak, moodnya sudah mulai membaik.

"Ya tentu saja boleh....ajak saja teman-temanmu supaya ramai" ujarku.

"Kalo gitu... Dira ajak Tante Dini, boleh?" tanya Dira sambil tersenyum jahil.


Hemh...apa maksud dari senyummu itu, Dira...



Penulis:


Siska Rostika


Share: