Penulis: Tim Redaksi

(masihkah) Tamu Adalah Raja???

Zaman terus berkembang dan berubah. Di segala lini, apa yang kita jumpai 1 tahun, atau 1 bulan lalu, atau bahkan 1 hari lalu, bisa berbeda dengan yang kita dapatkan hari ini.

Ya, begitu cepat memang dentang waktu berjalan. Kita tidak menyadarinya.

Perubahan, atau penyesuaian zaman juga melibas bisnis restoran, cafe, rumah makan cepat saji.

Mantik "Tamu adalah Raja", perlahan sudah mulai tak berlaku lagi.

Manajeman rumah makan seperti yang kami sebutkan di atas, mulai menerapkan: self service dan self order.

Di Samarinda, belum semua memang pake teknis itu. Masih semi-semi saja.

Seperti pengalaman kami kala menikmati segelas kopi susu di sebuah resto n cafe di seputaran Islamic Center.

Umumnya, pelayan langsung mendatangi meja tamu. 

Menanyakan menu apa yang hendak diteguk dan disantap. Atau setidaknya, ada basa-basi lah dengan tamu.

Sekadar menanyakan kabar kesehatan, kabar perkembangan politik, atau tentang kabar gebetan yang direbut orang.

Ini tidak.

Pelayan dengan santainya duduk, bercengkrama, sesama mereka. Tak menghiraukan kami yang datang.

Beberapa menit menunggu, tidak datang juga pelayan. Ya sudah. Kami langsung pesan ke dalam. Langsung bayar. Dan diberi semacam alat elektronik seukuran separuh kartu remi untuk dibawa ke meja kami.

Tak lama, alat tersebut berkedip.

Maklum, kami, atau tepatnya saya, memang sudah jarang nongkrong di tempat-tempat kekinian. Jadi kurang paham dengan jenis pelayanan seperti ini.

Inisiatif, saya pun masuk ke tempat pemesanan, mengambil apa-apa yang sudah saya dan teman bayar.

Emmmm...setelah berselancar di semesta maya, barulah paham. 

Itu tadi yang disebut self service. Melayani diri sendiri.

Tapi jika dibedah sesuai harfiah, kafe itu belum full menerapkan self service. Jika memesan sendiri, mengambil sendiri, kemudian membersihkan sendiri meja-meja, nah itu baru self service.

Ada juga istilah self order. Di sini, kita pesan sendiri. Biasanya disediakan gadget, atau setidaknya QR Code.

Tamu diminta untuk memesan menu, kemudian membayar tanpa ke kasir. Umumnya, memang cashless.

Jika keduanya digabung, alhasil tamu benar-benar melakukan semuanya sendiri. Padahal bayar. Hahahahaha...

Ya, begitulah sekarang.

Ada plus minus memang. Bagi pemilik bisnis, ini bisa menekan biaya operasional. Mereka bisa nego habis gaji karyawan, khususnya pelayan. Sebab, tugasnya tidak begitu berat.

Tamu juga tidak perlu capek-capek antre memesan menu.

Namun, bagi saya pribadi, yang masih ada darah ketimuran mengalir di badan, pola seperti ini masih tabu.

Oke, untuk saat ini, itulah tanggapan saya. Bukan bermaksud saya adalah raja. Bukan. Bukan soal itu. Jangan salah paham dan memahami.

Tapi lebih ke soal adab semata.

Lagipula, menurut saya, kita akan merasa gimana gitu jika begitu tiba di kafe, langsung disambut senyum tipis dan sapaan selamat datang.

Kemudian diarahkan ke meja sesuai jumlah orang yang datang. Kemudian disodorkan buku menu. Kemudian pesanan diantar ke meja. Begitu pulang, teriring ucapan terima kasih.

Ya, tidak sebegitu juga sih. Tapi, hal itu menimbulkan dan meninggalkan jejak di benak. Oh, pelayanan di sini baik. Ada keterikatan emosional. Bukan tidak mungkin, besok-besok bisa datang ke situ lagi.

Tapi, ya itu sih pengalaman dan pendapat saya pribadi. Tentu, Anda-Anda bebas saja berpendapat. Tidak mesti sama dengan saya.

Ya...apakah Tamu adalah Raja masih akan berlaku? Atau memang tempat saya bukan di situ, melainkan di warung-warung tenda pinggir jalan yang meski dengan menyeka keringat karena panasnya wajan, sang pemilik warung masih menyempatkan senyum dan menyapa "Mau pesan apa Mas,?".

Share: