Penulis: Tim Redaksi

Pahamlah Ikam Soal Maulid?

Hampir saja kesiangan pergi ke kantor hari ini. Maklum, semalaman mata tak bisa menutup. Terhalang segelas kopi pahit. 

Eh, ternyata kalender di tanggal saat ini berwarna merah. Pantas, di grup WA kantor tidak ada aktivitas. Sepi, tak seperti biasa. 

Ya sudah, meski libur, bukan berarti tak melakukan apa-apa. Seperti biasa, aku langsung bebersih badan, dan tancap gas menuju warkop andalan.

Tak banyak pengunjung pagi ini. Beberapa kursi masih kosong. 

Kulemparkan pandangan ke beberapa orang yang sedang bercengkrama. Eits, ada satu sosok yang tak asing di sudut dekat di mana bulek empunya warkop membuatkan pesanan.

Ya sudah, aku lantas duduk di sampingnya. 

Perawakan kawan satu ini, tunggu kiris, eh tinggi kurus. Eh, tak tinggi-tinggi amat sih. Sedang, tapi tak juga pendek. Rambutnya dibiarkan panjang. Sesekali ia biarkan terurari, satu waktu diikat. Janggutnya ku perhatikan semakin panjang, tumbuh sedikit tak beraturan.

"Pesan sudah," seloroh kawanku itu.

"Sudah lama kah?" tanyaku.

Tak dijawab, ia malah asyik menyesap tembakau kreteknya. Kepulan asap keluar dari mulutnya. 

"Sejak kau bingung bakal terlambat kerja tadi pagi, aku sudah di sini," sahutnya datar sambil menyeruput segelas kopi pahit favoritnya.

"Dasar, dari mana ia tahu kalau tadi pagi aku sempat galau karena kupikir telat ngantor," batinku.

Segelas kopi susu pun ku pesan. Tak selang lama, pesananku tersaji. Kucomot sebiji kue untuk-untuk isi kacang hijau.

"Oiya, hari ini tanggal merah lah. Peringatan Maulid Rasulullah," ujarku membuka pembicaraan lagi.

Pantas, semalam, aku cek di nedia sosial, ramai khalayak membuat konten akan bikin kajian-kajian terkait maulid nabi.

"Kamu gak ikut pengajian kah?" tanyaku.

"Buat apa?,"

Lah, aneh memang. Keningku mengkerut mendengar balasannya. Kan ia tahu, tentu mengambil hikmah dalam kajian tersebut.

Aku coba jelakan ke dia. Bukankah bagus hadir di majelis ilmu seperti itu. Biar kita makin paham dan bisa meneladani sekaligus mencontoh kehidupan Rasulullah sehari-hari yang kemudian kita jadikan panutan.

"Seberapa sering kegiatan macam begitu? Seberapa kali orang-orang mendengar kajian itu? Sudahkah diikuti?" cecarnya.

Menurutnya, bukan soal tak mau ikut dalam majelis-majelis. Hanya, kadang apa yang tersampaikan, tak sejalan dengan kelakuan.

Para kaum ilmu pasti paham seperti apa kehidupan Rasulullah. Tapi, sudahkah meneladani?

"Tak banyak kaum ilmu yang dapat memahami mantik-mantik Rasulullah. Padahal, para buyut kita sudah mengajarkan soal mantik itu," terangnya.

"Mantik apa?"

"Pernahkah kau lihat ketika di sebuah acara atau apapun, ketika bershalawat, seseorang menghamburkan uang koin. Kemudian orang-orang berebut uang itu?" 

Aku belum paham, arah pembicaraannya. Sebatang rokok filter aku nyalakan. Ke sesap dalam-dalam. Hampir-hampir saja aku dibuat batuk, karena terlalu dalam menghirup asap tembakau.

Satu, dua, bahkan 5 sesapan rokok, aku belum bisa memecahkan apa yang ia sampaikan.

"Rasul bukan orang miskin, sejak ia menikah dengan Ummi Saidah Siti Khadijah AlQubro. Tapi, apa yang Rasul lakukan? Seluruh hartanya, ia bagikan ke umat. Melempar koin-koin uang itulah mantik bershalawat sebenarnya. Jadi shalawat itu tak di bibir saja. Tapi gugurnya diperbuatan," terangnya panjang lebar.

"Bahkan Rasul sempat bertanya kepada Siti Khadijah, menyesalkah engkau menikah denganku. Sebab, seluruh hartanya habis dibagikan ke umat. Tidak wahai Rasul, jawab Siti Khadijah," urainya.

Aku tersentak. Mulai paham apa yang ia sampaikan.

"Lantas, apa kita harus menghamburkan apa yang kita punya?" tanyaku.

"Silakan pikir sendiri. Gunakan akli nakli mu" sahutnya datar.

Sebuah gorengan ia sambar. Sembari ia menerangkan apa mantik yang ia sampaikan itu.

Ku pikir ada benarnya juga. Selama ini, kita sibuk mengejar harta. Menumpuknya. Lantas memamerkan agar status sosial naik. 

Ribuan kali bibir ini bershalawat, tapi tak membekas, hanya bacaan semata. Bahkan tak jarang terselip harapan akan sesuatu ketika hendak bershalawat. Parahnya, aku kadang memegang sesuatu lantas ku shalawati agar barang itu suatu saat ku punyai.

Bah, malunya. Betapa aku tak sadar telah merendahkan makna shalawat. Padahal, nilai shalawat itu tak sejajar dengan apapun. Shalawat malah aku jadikan pemenuhan napsu untuk duniaku. 

"Itu sudah. Rasul tak menyuruh kita untuk menjadi kaya raya. Tapi bagaimana dengan yang kita punya, bisa bermanfaat untuk umat. Ini baru umat. Belum bicara soal makhluk. Rasul itu ada untuk semua makhluk. Satu pesan Rasul, kalau mau selamat, ikuti aku," bebernya panjang lebar sembari tersenyum tipis menjurus tertawa kecil.

"Sudah, bayari kopi dan gorenganku biar uangmu bermanfaat," selorohnya sembari ngeloyor keluar warkop.

"Sial...."

Share:

Berita Lainnya

Berita Pilihan