Sopan Santun Dari Pak Montir
Sudah hampir sepekan, motor yang biasa kupakai untuk keseharian, sudah mulai cerewet. Maklum, umurnya sudah 6 tahunan. Untuk kategori sepeda motor, ya masuk dalam usia senja. Rentan dan ringkih. Terutama pada bagian sparepart.
Bukannya membandingkan, tapi faktanya memang, kekokohan sparepart motor saat ini jauh dibanding produksi tahun 90-an ke bawah. Tapi, itu pendapat pribadi. Kalau pihak pabrik motor, pasti punya dalil sendiri. "Kalau dirawat rutin, pasti awet," mungkin kurang lebih dalil mereka. Yah, serutin-rutinnya dirawat, kalau besi bergesekan dengan besi, pasti ada batas pakainya.
Sudahlah, bukan itu yang mau ku bahas.
Mumpung masih ada beberapa lembar bapak proklamator berjejer cukup rapi di dompet, aku segera menuju bengkel. Kusampaikan keluhan penyakit motor. Mendengar penjelasanku, montir lantas memberikan analisanya: kampas ganda atau beberapa komponen di pully belakang sudah saatnya diganti itu yang membuat tarikan awal ndredek. Aku juga tak tahu, apa kata baku "ndredek". Suara yang dihasilkan ketika sepeda motor melaju di awal, memang terdengar seperti itu. Maka, di kalangan montir, terpilihlah kata "ndredek" itu tadi.
Ya sudahlah jangan berpusing mencari padanan kata: ndredek. Karena memang bukan itu yang mau ku sampaikan.
Ada hal menarik saat montir memperbaiki motorku. Terselip diskusi-diskusi. Pertama tentu soal mesin motor. Kedua adalah kekagumanku ketika ada beberapa pelanggannya yang minta diperbaiki juga. Ketika ditanya berapa ongkosnya, selalu ia bilang sekian rupiah. Bahkan pelanggan itu pun seolah tak percaya dengan biaya yang harus dibayar. Masak hanya segitu, sementara kalau di bengkel lain, sudah digetok harganya.
Aku pun iseng tanya ke montirnya, memang segitu ongkos bapak tadi. Dia bilang, saya melihat pelanggan tersenyum puas, sudah lebih dari cukup. Saya tak mau, kata dia, orang yang sudah tertimpa musibah, malah dibikin susah. "Setidaknya, dengan dia tersenyum, saya sudah bisa mengurangi bebannya," ujarnya seraya tertawa kecil.
"Boleh juga ini orang," sahutku dalam hati.
Aku memang suka berdiskusi dengan siapa saja dan tentang apa saja. Terlebih dengan tipikal seperti montir ini. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Meski, hikmah pun tetap bisa diambil dengan tipikal orang yang kita anggap perangainya negatif.
Maklum, insting wartawan pun aku gunakan untuk menggali lebih dalam soal siapa sih ini orang. Pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan di sela-sela ia memperbaiki ndredek, eh motorku.
"Sampeyan ini sangat beradab," ujarku
"Waduh mas, terlalu tinggi kalau adab itu. Saya belum sampai ke situ. Saya masih berkutat soal sopan santun saja. Masih seputar kulit, dan itupun tak gampang," ujarnya merendah.
"Jadi, adab itu beda dengan sopan santun?" tanyaku lagi.
Ia kembali tertawa kecil. Sebatang rokok lantas ia bakar dan sejurus kemudian mengajakku cerita di kursi yang biasa pelanggan duduk menanti motornya di servis. Segelas kopi sachetan hangat yang sedari tadi tersedia, ia tawarkan aku untuk seruput. Lumayan, usai hujan, seruput kopi sambil menyesap tembakau, ditambah diskusi yang isinya daging semua. Itu, istilah kayak para podcaster. Padahal, kalau isinya daging semua, juga tak terlalu enak. Harus ada pelengkap lain seperti nasi, kerupuk, sambal, dan sejenisnya.
Jadi, menurut dia, adab itu berada pada tatanan tertinggi akhlak seseorang. Tak semua orang bisa. Bahkan, orang berilmu pun, kadang kurang beradab. Makanya, ada istilah adab lebih utama ketimbang ilmu. "Jadi bagaimana itu?" tanyaku penasaran.
Menurutnya, kita berlaku sopan santun itu merupakan langkah awal yang bisa ditempuh. Harus sopan santun kepada siapapun. Kelak, adab akan merangkul kita dengan sendirinya. "Jadi bukan kita yang mendudukkan beradab. Adab itu di dalam, sopan santun itu bagian kulit terluar tubuh kita," ujarnya.
Kepalaku pun mulai cenut-cenut mencoba mencerna apa yang barusan ia sampaikan. Tapi aku hanya angguk-angguk di setiap penjelasan. Itu pun ekspresi pura-pura ku seolah aku paham. Padahal tidak paham sepenuhnya.
Tentu banyak hal dalam yang ia terangkan jua soal adab. Tapi, sengaja tak ku tulis di sini. Sebab, terlalu dalam. Khawatir jadi perdebatan panjang.
Ya sudah, aku pun mengakhiri diskusi itu. Kebetulan suara ndredek motorku sudah hilang. Tarikannya pun sudah normal. Lantas ku keluarkan beberapa lembar rupiah sesuai angka yang ia sebutkan atas sparepart yang diganti. "Kebanyakan ini," ujarnya sambil mengembalikan selembar rupiah. Aku pun menolak. Sebab, dia pun berhasil membuatku tersenyum yang suasana ini tak kudapatkan ketika aku ke bengkel lain. "Yah, hitung-hitung aku belajar sopan santun ini, mas" ujarku yang sontak kamipun tertawa lepas bersama. (***)