Vindes, Eksekutor Zaman Penyiaran Pertelevisian?
Penulis: Tim Redaksi
Duo Vincent dan Desta, bisa disebut sebagai pionir dalam mengawinkan olahraga dengan entertainment. Setelah bulu tangkis, barusan, eks grup musik Club's Eighty tersebut helat Tiba Tiba Tenis.
Venue pun tak main-main. Di lapangan Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Lengkap dengan perangkat pertandingan, suporter, ticketing, hingga penataan sudut kamera bak kompetisi pro. Tak heran, logo sponsor berjubel di spanduk dan backdrop event.
Memang, sebelumnya sudah terlaksana lomba pingpong antara Abdel Arian dengan si Desta. Ini bisa disebut cikal bakal acara serupa.
Namun, boom nya tetap ada event yang digarap Vindes, sapaan karib mereka yang kini telah berbadan hukum melakukan usaha bidang broadcasting berbasis media sosial.
Event pertama mereka membuat badminton. Sepertinya, ini proyek cek ombak. Namun tetap dilakukan profesional. Eh, laris.
Dibuatlah event lanjutannya: Tiba-Tiba Tenis.
Terobosan ini sangat menarik. Saat live streaming Tiba Tiba Tenis, sejak 3 jam mengudara di jagad maya, tercatat 700 ribuan viewer. Usai live streaming, terlihat 1,6 juta yang menonton.
Apakah ini mulai pertanda berakhirnya dunia penyiaran tradisional? Bisa ya bisa tidak.
Pastinya, kejayaan tayangan televisi belakangan ini, memang mulai redup.
Entah apa karena kurangnya kreativitas tim kreatif perusahaan televisi? Apa karena kurangnya pemasukan iklan sehingga berpengaruh terhadap performa kreativitas? Atau pemasang iklan sudah jenuh dengan program yang konsepnya begitu begitu saja? Entahlah. Banyak pertanyaan memang.
Simpul merahnya adalah: akhir zaman dunia pertelevisian memang sudah kian dekat.
Tengok saja, para artis kini memiliki channel youtube sendiri. Di dunia sebelah, mereka bebas berekspresi. Mereka bebas berkata kata tanpa sensor. Caci maki, konten mistis, hingga yang membahas area selangkangan tersaji vulgar. Tanpa sensor. Dan tak ada yang bisa menyensor kecuali diri sendiri.
Eh sebentar. Apa regulasi pemerintah yang membuat matinya kreativitas tim kreatif? Tak tahu. Apa karena dunia sebelah tak tersentuh regulasi, makanya rantai kreativitas terlepas bebas? Lagi lagi, bisa iya, bisa tidak. Tapi, jawabannya kebanyakan iya.
Sudah semestinya kita membaca pertanda pertanda alam. Ingat bagaimana Nokia dulu menguasai pasar telepon seluler. Lihat nasibnya Nokia sekarang. Tergerus ponsel berteknologi yang terus update.
Masih teringat jelas sejarah Blackberry. Tak hitungan belasan tahun, tumbang oleh aplikasi chat berbasis Android maupun IOS.
Bagaimana menyikapi? Tentu Anda Anda punya pemikiran dan strategi sendiri.
Kalau kami, mencoba belajar kepada Twitter. Di tengah banyaknya bermunculan aplikasi semisal Facebook, Instagram, dan sejumlah nama aplikasi yang kemudian mati terlindas roda persaingan, aplikasi yang pesannya hanya 140 karakter itu, hingga kini tetap ada dan bertahan. Malah, penggunanya kini kian banyak.
Apa rahasia Twitter melenggang bebas tak terkena badai persaingan? Ya, namanya saja rahasia. Biarlah tetap menjadi rahasia. Heuheuheu..