Bbm Subsidi, Bukan Untuk Kita

Penulis: Tim Redaksi

"kenapa kada ikam angkat isu soal kelangkaan BBM. Kemarin, aku dari Kalteng dan Kaltara. Di sana tak ada antrean BBM subsidi," ujar seorang kawan, suatu waktu.

Lantas, berbagai pendapat soal kenapa bisa langka sampai mengerucut satu kesimpulan bahwa ada IKN di Kaltim yang bervisi transportasi elektrik, membuat pemerintah pusat "membatasi" kuota BBM untuk Kaltim, agar warga sini kelak beralih menggunakan moda transportasi non-BBM.

Bahkan, kawan tadi juga sempat berdiskusi dengan karyawan SPBU soal kelangkaan BBM subsidi yang memang jatahnya dikurangi. Yang bila sebelumnya dapat jatah 3 tangki masing-masing kapasitas 9 ton, kini hanya 2 tangki saja.

Menarik memang investigasi tipis2 kawan ini. Metode pengumpulan data, ia lakukan sudah kayak wartawan yang aku sendiri sebagai wartawan memang agak pikir 2 kali kalau mau bikin berita investigasi.

Bukan tak mau. Banyak pertimbangan, dan perlu waktu banyak mengumpulkan data fakta. Padahal memang, berita investigasi ini berada di kasta tertinggi dibanding jenis liputan lainnya. Apalagi isu BBM subsidi sangat penting dan informasinya diperlukan banyak orang.

Isu ini sudah menasional. Tak sedikit berita yang mengulas apa dan mengapa bisa langka, yang tak hanya BBM subsidi, sudah banyak yang mengangkat. Ujung-ujungnya, hasil liputan itu terkadang hanya tersudut di pojokkan, lalu menguap jadi rahasia umum. Kita bersama mungkin tahu pangkal penyebabnya. Toh hendak melawan, apa daya. Tembok besar berdiri mengangkang, kata Iwan Fals. Susah mau dilawan.

Benar, kebebasan berpendapat dijamin UU. Pun begitu dengan wartawan yang dipayungi UU Pers. Tapi kebanyakan tak berjalan sesuai di lapangan. Aneka pasal siap digunakan untuk menjerat. Jika terjadi ketidaksukaan dengan pemberitaan, sangat jarang lembaganya yang dituntut, melainkan personal.

Negara kita memang menganut demokrasi. Tapi yang terjadi, sebenarnya negara kita masih belajar berdemokrasi. Yah, namanya aja belajar. Kalau cocok dipakai, kalau tidak ya ditinggal, meski malu-malu jika ingin menganut sistem lain.

Media memang kontrol sosial. Seharusnya. Tapi, kepentingan-kepentingan masih jadi bumper. Yang siap menabrak dan menubruk siapa saja yang mengganggu.

Bahkan, seekor semutpun akan marah jika rumahnya dirusak. (***)

Share: