Gas Melon Dan Jalan Berliku Ke Dapur Rumah-Rumah Kita

Oleh: Siska Rostika

Pagi hari di rumah-rumah kita sering dimulai dengan aktivitas dapur. Asap mengepul dari tungku-tungku kecil, suara gorengan di wajan bersahutan dengan tawa anak-anak yang bersiap sekolah. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada satu hal yang kerap menjadi keluhan: gas melon yang makin susah dicari, dan makin mahal dibeli.

Gas LPG 3 kg, atau yang lebih akrab disebut "gas melon" karena bentuknya yang bulat hijau, sebenarnya disediakan pemerintah dengan harga subsidi. Tujuannya mulia: meringankan beban rumah tangga miskin dan usaha mikro agar tetap bisa memasak, mengolah, dan menjalani hari. Namun di lapangan, realita seringkali tidak seindah niatnya.

Meski pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp18.000 per tabung untuk wilayah kota Samarinda (untuk kabupaten/kota lain HETnya berbeda), faktanya banyak warga membeli hingga Rp30.000, bahkan Rp35.000. Ironisnya, ini bukan karena mereka tertipu, tapi karena memang hanya itu satu-satunya pilihan yang bisa mereka "akses" lewat warung pengecer, bukan pangkalan resmi.

Pemerintah saat ini telah memberlakukan sistem pembelian berbasis NIK. Artinya, hanya warga yang terdata sebagai penerima manfaat yang bisa membeli LPG subsidi. Tapi itu baru separuh solusi. Karena walau sistem makin canggih, masalah utamanya justru ada di soal akses dan kenyamanan. Tidak semua warga bisa datang langsung ke pangkalan. Ada yang tinggal jauh dari lokasi, tidak punya kendaraan, atau tidak kuat mengangkat tabung gas. Bahkan jika pun dekat, pangkalan punya jam operasional terbatas, dan seringkali antreannya panjang. Maka, banyak warga terutama ibu rumah tangga, lansia, dan pekerja sibuk, akhirnya memilih jalur yang lebih praktis: membeli dari warung atau pengecer terdekat, meski lebih mahal.

Dan uniknya, masyarakat tidak protes. Ungkapan populer di Samarinda dan juga di daerah lain di Kaltim menggambarkan ini dengan pas: "gak papa mahal, yang penting ada barangnya". Artinya, mereka lebih menghargai kepastian dan kemudahan, daripada sekadar harga murah.

Secara aturan, pengecer bukan bagian resmi dari rantai distribusi LPG subsidi. Peraturan hanya mengenal agen dan pangkalan resmi. Tapi justru di sinilah letak keganjilan sistem kita: yang membantu masyarakat mendapatkan gas dengan mudah, justru dianggap ilegal. Padahal, tanpa pengecer, banyak keluarga mungkin tidak bisa masak hari itu. Maka, muncul pertanyaan wajar: bukankah sudah saatnya pemerintah mengakui kenyataan di lapangan dan merangkul pengecer ke dalam sistem yang sah dan terpantau?

Ini bukan berarti melegalkan pengecer liar, tapi mendesain jalur legal yang tetap adil dan terawasi. Misalnya dengan membentuk: sub-pangkalan resmi yang bermitra dengan pangkalan induk; warung koperasi, UMKM, atau BUMDes yang mendapatkan pelatihan dan izin; jasa antar resmi dari pangkalan, terutama bagi wilayah padat penduduk.

Satu hal yang menarik: harga gas melon di pengecer sebenarnya sudah setara atau bahkan lebih mahal dibanding LPG nonsubsidi ukuran 5,5 kg (Bright Gas). Artinya, banyak keluarga yang bukan penerima subsidi, secara tidak sadar sudah membayar setara harga pasar.

Maka, kenapa tidak memberi mereka pilihan yang lebih layak dan elegan? Pemerintah bisa mendorong rumah tangga mampu untuk beralih ke Bright Gas 5,5 kg, dengan langkah seperti: program tukar tabung subsidi ke nonsubsidi dengan insentif awal; penambahan outlet Bright Gas di warung dan minimarket; edukasi bahwa Bright Gas lebih aman, modern, dan harganya sepadan.

Harga sepadan ini maksudnya Harga Bright Gas memang lebih tinggi, tapi sepadan dengan kualitas dan kenyamanan yang didapat. Justru bagi rumah tangga yang selama ini membeli gas 3 kg dari pengecer di atas HET, beralih ke Bright Gas bisa jadi lebih hemat secara jangka panjang, sekaligus mendukung kebijakan subsidi tepat sasaran. Dengan ini, subsidi LPG bisa lebih tepat sasaran, dan masyarakat mampu bisa mendapat opsi energi yang sesuai dengan daya belinya.

Distribusi LPG subsidi bukan hanya soal angka di atas kertas. Ini soal dapur-dapur di kampung, soal ibu yang harus masak nasi pagi-pagi, soal anak-anak yang menunggu sarapan. Selama pengecer masih jadi penyambung harapan, tapi tak diakui negara, maka sistem kita akan terus timpang.

Sudah waktunya kita menyusun kebijakan yang membumi: mengakui kenyataan, bukan menyangkalnya. Pengecer bisa jadi solusi, bukan masalah asal diberi jalur resmi. Dan bagi warga yang mampu, mari beri pilihan untuk membeli LPG yang lebih layak, bukan mengambil jatah subsidi.

Karena pada akhirnya, gas melon itu bukan sekadar energi ia adalah bagian dari hidup sehari-hari rakyat kecil. (***)


Penulis: Siska Rostika


Share:

Berita Lainnya