Jujur = Hancur???
JUJUR: mudah diucapkan, namun sulit dilaksanakan. Tentu tidak bagi semua orang. Ada yang bisa 100%, 80%, 20% atau bahkan ada yang baru belajar mulai jujur setelah sekian lama tak jujur yang entah karena kesadaran, atau ketahuan.
Kejujuran memang bagian utama dari akhlak, attitude, atau adab yang melekat kepada seseorang. Sialnya, bagi kebanyakan pendapat, jujur = hancur. Darimana kaca mata melihat dan menilainya, kita juga kurang tahu.
Saking mahalnya kejujuran, sampai-sampai muncul kalimat satir: orang munafik adalah orang yang jujur di antara orang-orang munafik. Betapa sebuah kejujuran di antara sebuah kelompok adalah hal yang tidak terlalui disukai.
Lantas apakah tidak jujur = bohong? Apakah bohong = dusta? Ini hanya permainan kalimat. Tergantung konteks sedang membahas apa. Bagi kami, bohong adalah menutupi sesuatu untuk keselamatan atau kebaikan seseorang. Kiyai kondang Almarhum Zainuddin MZ pernah mencontohkan bohong yang seperti apa yang dibenarkan dalam salah satu ceramahnya. Cukup panjang bagian isi ceramah itu. Silakan Googling saja, siapa tahu ketemu.
Bila konteksnya adalah untuk menipu orang banyak, bahkan untuk mencapai suatu jabatan tertinggi, maka tidak jujur itu adalah bohong dan dusta. Karena ia telah menggunakan dan memilih cara yang tidak baik untuk mencapai hal yang baik.
Katakanlah ia ingin menjadi seorang presiden. Lantas ia mengakui bahwa ia memiliki ijazah yang belakangan ini malah diragukan keabsahannya. Padahal, syarat untuk menjadi presiden cukuplah lulusan SMA atau sederajat. Tapi kalau mau melamar pekerjaan yang sebatas menjadi marketing saja, tentu ijazahnya minimal strata 1. Kalau begini, bisa diartikan untuk menjadi seorang presiden, seorang pemimpin negara, cukuplah jebolan SMA saja. Tapi, tulisan ini tidak membahas asli atau tidaknya ijazah yang sedang trending di media sosial belakangan ini. Biarlah itu berproses.
Kejujuran memang sangat penting dan utama. Bahkan, Tuhan pun tidak bisa menciptakan DUSTA. Betapa Tuhan adalah maha segalanya, tapi tidak bisa menciptakan dusta. Betapa utamanya sebuah kejujuran.
Tapi, ya itu tadi. Bagi kebanyakan orang di kondisi tertentu, menyampaikan kejujuran memang berat. Seberat menerima kenyataan. Sampai-sampai ada dibuatkan sinetron Keluarga Cemara yang menggambarkan hasil dari sebuah kejujuran adalah kehancuran dalam tanda kutip. Ia terlempar dari perusahaan yang ia bangun sendiri. Kena tipu, saking jujurnya. Akhirnya, ia memilih hidup sederhana. Lari dari kota, memilih hidup di pedesaan.
Semua kembali ke pribadi masing-masing. Ada konsekuensi, ada akibat yang ditanggung atas sebuah kejujuran. Bisa jadi, kita sedang diselamatkan Tuhan dari lingkungan yang ekosistemnya dibangun atas ketidakjujuran. Perkara hancur di mata orang lain, biarkan saja. Toh itu hanya penilaian manusia. Kita tidak perlu meminta nilai baik oleh manusia. Bukan manusia yang menilai. Maka tak salah memang, orangtua dulu mengatakan: Kejujuran adalah Mata Uang yang berlaku di Mana Saja. (***)

Penulis: Tim Redaksi