Ibu Pertiwi Bermuram Hati
Kata: Merdeka, memiliki banyak makna. Terlepas dari penjajahan, atau terbebas apa saja dari sesuatu yang membelenggu, bisa dikatakan tafsir dari merdeka. Dari 76 tahun perjalanan perayaan kemerdekaan, apakah republik kita sudah benar-benar merasakan sejatinya merdeka?
Secara legalitas, ya. Melalui dan mewakili bibir Soekarno, bangsa kita menyatakan kemerdekaannya.
Namun, batu tajam tak mudah disingkirkan. Masih banyak yang berserakan di permulaan tahun 45. Adanya pengakuan dari bangsa lain bahwa Indonesia merdeka, menjadi syarat utamanya. Syukurlah, berkat perjuangan para pendiri bangsa, Indonesia benar-benar menjadi negara yang berhak dan berdaulat atas kemerdekaan.
Namun, benarkah kita sudah merdeka?
Zaman kolonial, musuh kita jelas. Strategi penjajah pun terang benderang. Mereka memaksakan kehendak dengan mengarahkan moncong bedil ke mulut mulut rakyat yang lantang menyuarakan perlawanan.
Era sekarang, sebuah zaman dimana setiap inchi kehidupan berubah menjadi digital, strategi kolinial tentu sudah berbeda. Tak lagi soal angkat senjata.
Penjajahan modern, begitu diistilahkan, begitu tak kasat mata. Bahkan, yang dijajah pun sampai tak merasa. Dininabobokan dengan bedil-bedil yang disamarkan dengan berbagai cara.
Tentu, menyerang terang-terangan melawan rakyat Indonesia, adalah hal mustahil dilakukan. Jiwa bonek rayak kita, tak perlu disangsikan. Sudah menyatu, mendarah daging hingga ke DNA. Moncong meriam pun tak menggentarkan semangat perjuangan.
Maka, "membuai" rakyat kita, kalau tak mau menyebutnya menjajah, mesti menggunakan cara lain. Yakni dengan perlahan mengendorkan tali ikatan persatuan.
Bagaimana caranya? Gampang. Psikologi manusia Indonesia sudah dipelajari mereka. Cara termudah memecah adalah dengan membenturkan agama.
Jika langkah pertama, yakni menggoyanggoyang akidah satu dengan lain bisa berhasil, maka akan dengan mudah masuk ke obyek lain.
Seiring denting waktu, pembenturan kepercayaan antar anak bangsa perlahan mulai mengikis dinding persatuan.
Tengok, betapa mudahnya saat ini kita bertengkar. Apa saja saja jadi bahan bantah bantahan. Hal sekecil apapun.
Ironinya, pertengkaran tak lagi antar yang berbeda. Yang satu keyakinan pun ribut. Berbeda pandangan, ribut. Berbeda pilihan politik, apalagi. Parahnya, pertengkaran tak lagi melulu antar golongan. Namun sudah masuk ke antar anggota keluarga.
Benarkah kita sudah merdeka?
Hampir 7 tahun sudah gesekan, perdebatan, gunjingan, hinaan antar anak bangsa.
Tidak lelahkah kalian?
Tidak sadarkah kalian?
Kita ini bangsa kuat. Bangsa hebat. Nenek moyang kitalah pemegang peradaban tertinggi. Jangan hanya berbeda pandangan, mengkerdilkan jiwa kebesaran kebangsaan kita.
Sudahlah. Hentikan.
Ketuk nurani. Sudah terlalu lama kita tidak menjenguknya. Sudah terlalu lama kita meninggalkannya. Tapi percayalah, ia tak pernah berhenti menunggu kita. Ia rindu keluh kesah kita. Ia rindu. Sangat rindu...
Saatnya kita bangkit. Injak ego kita dalam dalam. Lapangkan dada. Jernihkan hati dan akal. Mereka juga saudara sebangsa kita. Kita ribut, mereka yang menari nari.
Saatnya kita sapa sahabat, kawan, saudara yang selama ini dipisahkan kita oleh yang namanya nafsu.
Bangsa kita juga sudah sangat lelah. Begitu lelah. Andaikan saja kita mampu mendengar rintihannya.
Sadar kawan. Bangsa kita perlu disatukan kembali. Bangsa ini memerlukan persatuan dan kesatuan semua anak bangsa. Jangan lagi kita mau dikotak kotakkan.
Bersatulah...
Itu baru namanya: MERDEKA...!!!
Penulis:
Denny Sulaksono